aswad/fajar
MAESTRO. Arly Sudiyono (kanan) aktif mengampanyekan kesenian dan kebudayaan Bugis-Makassar di luar Sulsel terutama di Solo.
KESENIAN itu universal, seperti halnya musik, orang bisa berkomunikasi lintas budaya dengan seni. Itu dipahami Arly P Sudiyono, sehingga wanita kelahiran Makassar, 27 Juli 1968 ini, membentuk sanggar seni dan menjadikannya alat komunikasi yang erat dengan Kraton Solo. MAESTRO. Arly Sudiyono (kanan) aktif mengampanyekan kesenian dan kebudayaan Bugis-Makassar di luar Sulsel terutama di Solo.
OLEH: ASWAD SYAM
PENAMPILANNYA cuek, dari gayanya memang sudah menggambarkan bahwa dia seorang seniman. Rambut dikuncir seperti ekor kuda, pakai kacamata. Ngomongnya berapi-api, apa lagi kalau sudah menyangkut nasib rakyat kecil. Tapi jangan salah, dia ternyata adalah seorang pegawai negeri sipil di Lingkungan Kementerian Perindustrian. Namanya, Arly P Sudiyono.
Meski dilahirkan dari pasangan ayah R. Sudiyono SH dari Yogyakarta, dan ibu Hj Emmy Olii dari Gorontalo, namun, darah Makassar kental di dalam dirinya. Logatnya sama sekali tidak mencerminkan daerah asal kedua orang tuanya. Orang tua Arly mamang lama berdinas di Makassar, dan pada saat meninggal, juga minta dikuburkan di Makassar. "Saya anak Indonesia asli dan saya lahir di Indonesia, maka bagi saya kebudayaan manapun adalah milik saya," ujar Arly.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD) di Makassar, Arly sebenarnya sudah tertarik dengan kesenian. Dia saat itu sudah berpikiran untuk membuka sanggar seni. Pada saat duduk di bangku SD, Arly aktif sebagai murid dari IKS (Ikatan Kesenian Sulawesi) di bawah pimpinan almarhumah Hj Sitti Aminah Daeng Puji, istri almarhum H Andi Matalatta. Setelah itu , Arly masuk ke Yayasan Anging Mammiri (YAMA) pimpinan almarhumah Ida Joeseof Madjid.
"Jadi dengan bekal itulah, saya berusaha untuk melestarikan tarian kebudayaan Sulawesi Selatan tanpa dikolaborasi," ujarnya.
Arly meninggalkan Makassar sekitar 1998 dan menetap di Jakarta. Karena ada ajakan dari beberapa perupa Yogyakarta untuk join, Arly pun kemudian berangkat ke tanah leluhurnya tersebut pada 2004. Disinilah dia kemudian banyak berkenalan dengan seniman-seniman Yogyakarta. Arly kemudian bergabung dengan Sanggar Watoeboemi milik Mas Wigit, putra Pangeran Hadikusumo.
Pada 2006, Arly kemudian menjadi panitia Beber Seni di Yogya, dan saat itu, dia berpikir bahwa itu kesempatan bagi Sulawesi Selatan untuk ikut berpartisipasi dalam acara pembukaan beber seni. Dia kemudian mencoba untuk mencari mahasiswa dan mahasiwi asal Sulsel yang sedang kuliah di Yogyakarta. Arly ke Jalan Mangunsarkoro Gang Rahmat, di sana dia mendapati asrama putri Kepmawa Wajo. Di depan mahasiswa dan mahasiswi asal Wajo tersebut, Arly mengutarakan niatnya untuk mengundang mereka berpartisipasi dalam beber seni. "Dan alhamdulillah mereka ingin ikut berpartisipasi," ujarnya.
Dengan waktu delapan hari, Arly mengajarkan mereka tari-tarian Sulsel seperti Pakarena, Pattennung, dan Ganrang Bulo. Kendalanya waktu itu adalah perlengkapan untuk tarian. Arly kemudian berinisiatif menjual handphone miliknya, juga melego perhiasannya agar bisa membeli perlengkapan tarian tersebut, meski perlengkapan itu tidak asli seperti dari Makassar.
"Saya mendapatkan semua peralatan tarian tersebut di Pasar Bringharjo," bebernya.
Itu merupakan tonggak awal berdirinya sanggar seni yang mereka namakan Sanggar La Tenribali. "Alhamdulillah sampai detik ini sanggar tersebut tetap eksis, walau saya sudah berada di Jakarta kembali. Dan Alhamdulillah, setiap ada event di Yogyakarta, sanggar La Tenribali selalu diminta untuk mengisi acara, termasuk waktu kirab di Kraton Solo," ungkapnya.
Arly selalu menanamkan kepada mahasiswi di Yogyakarta, bahwa kesenian Sulawesi Selatan tidak kalah dengan kesenian lainnya. Walau berat bagi mereka untuk membagi waktu antara kuliah dan menari, namun dengan kesadaran tinggi mahasiswi Kepmawa Wajo bisa dan selalu berusaha semaksimal mungkin untuk membagi waktu antara kuliah dan latihan menari.
Arly berharap, Dinas Pariwisata Sulsel dan Kota Makassar bisa membantu dalam pengembangan sanggar La Tenribali di Yogya. "Agar kebudayaan kita bisa lebih eksis lagi di kota budaya Yogyakarta. Minimal turis yang tidak sempat singgah ke Makassar, bisa juga menikmati kebudayaan Makassar di Yogya. Dan sudah sepatutnyalah Pemerintah Provinsi Sulsel memberikan penghargaan kepada adik-adik kita mahasiswi yang aktif di sanggar La Tenribali, karena mereka duta budaya dari Sulsel di Yogya," tutur Arly.
Arly menikah dengan Andi Don Jamerro, cucu dari Datuk Sengeng di Sengkang. Dari perkawinannya tersebut, dia dikaruniai tiga orang putra, Ade Devi Dwi Nugroho, Andi Reza Tri SJjamerro dan yang bungsu Andi Septian Eka Prasetyo Jamerro. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar