Jumat, 09 Desember 2011

Akar-Akar Perbedaan Budaya di Indonesia

KabarIndonesia - Sanusi Pane  dan Sutan Takdir Alisyahbana pernah bertengkar pada fase revolusi fisik dan intelektual dalam usaha membangun bangsa Indonesia yang bebas dan beradab. Sutan Takdir Alisyahbana meminta bangsa Indonesia membuka diri terhadap  kebudayaan barat yang bersumber pada pencerahan dan bertumpu pada keunggulan akal dan budi yang bebas. Tetapi Sanusi Pane menggugatnya, karena baginya kebudayaan barat cenderung memaksakan logika kemajuan tanpa mengindahkan logika kemajuan budaya-budaya lokal Indonesia yang tak bisa diukur berdasarkan logika kemajuan barat.

Sanusi Pane tidak melihat kebudayaan sebagai keseharian, tetapi sebagai puncak  cipta rasa karsa manusia. Sedangkan mereka yang memiliki waktu luang untuk bercipta rasa karsa bukan rakyat jelata, melainkan golongan aristokrat. Anggapan lainnya, pengkotakkan antara kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah. Kebudayaan tinggi adalah hasil-hasil terbaik dari olah pikir dan rasa manusia. Kebudayaan pun menjadi fungsi waktu. Kebudayaan tinggi adalah kebudayaan mereka yang memiliki waktu luang, sedangkan kebudayaan rendah adalah  milik mereka yang dikekang oleh rutinitas hidup. Ia selau mengasosiasikan kebudayaan adi luhung dengan kebudayaan Sriwijaya, Majapahit, kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, dan lain-lain, di masa lalu. Dengan anggapan samar bahwa rakyat tak punya kebudayaan. Kalaupun punya, "kebudayaan" terlalu agung untuk rakyat.

Kita dilahirkan di Indonesia, di daerah tertentu di mana terdapat sekitar 250 bahasa ibu tertentu yang membentuk kita sebagai manusia yang menganut dan menghargai nilai-nilai bersama. Kita tumbuh menjadi manusia berbudaya dengan adaptasi kita terhadap nilai-nilai masyarakat sekitar, melalui orang tua dan keluarga. Para pakar antropologi Indonesia sering hanya menyebut adanya pembagian 19 wilayah budaya besar. Dari 19 wilayah budaya besar ini dapat dikategorikan empat jenis budaya, yaitu budaya kaum peramu atau pengumpul, budaya kaum peladang,  budaya kaum pesawah, dan budaya maritim (Sumardjo : 2003). Yang tertua adalah budaya kaum peramu atau pengumpul makanan.


Budaya Kaum Peramu/Pengumpul Makanan
Kaum peramu dahulu tersebar di wilayah Indonesia bagian timur. Mereka hidup dari kemurahan alam yang kaya, pada dasarnya bersifat konsumtif. Mereka mengambil dan mengumpulkan hasil alam tanpa usaha mempengaruhinya. Setiap individu harus punya ketrampilan mandiri. Kesadaran keberadaan diri sangat tinggi. Semua orang sama. Pola pikir kaum peramu muncul dalam pengaturan kampung, upacara, pengaturan rumah, hubungan suami istri, mitologi, karya-karya seni, dan segala budaya manusia peramu merupakan syarat untuk memahami makna dari seluruh artefak dan tingkah laku budayanya.


Budaya Kaum Peladang
Inilah dasar budaya sebagian besar masyarakar Indonesia, tersebar di Indonesia bagian barat, tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Mereka hidup dari bertani, menanam sejenis padi kering, berladang. Teknologi perladangan masih menggantungkan diri pada kemurahan alam. Meskipun manusia ladang sudah produktif, tetapi juga masih kosumtif(paradoksial). Mereka memilih tinggal di lingkungan hutan tropis daerah pegunungan karena di daerah seperti itu banyak curah hujan, yang merupakan syarat dasar sistem perladangan.

Prinsip kaum peladang "hidup itu adalah menumbuhkan" atau "hidup itu menghasilkan hidup baru." Pola pikir kaum peladang dan kaum petani umumnya adalah bahwa kehidupan ini merupakan harmoni atau perkawinan dari segala pasangan oposisi. Di Indonesia bagian barat pola pikir "perkawinan" segala hal dualistik itu adalah umum. Pola pembagian tiga budaya peladang ini berasal  dari faham dualisme purba. Pasangan oposisi dualistik itu tak bermakna kalau terpisah. Segala sesuatu yang ada baru bermakna kalau terjadi harmoni integrative antara dua pasangan yang bertentangan. Hasil harmoni atau "perkawinan"  itu adalah lahirnya entitas baru, yaitu entitas ketiga yang bermakna, transenden semua yang "hidup", "selamat", "subur", "kuat", "damai", "suci", adalah entitas "dunia tengah". Seluruh gagasan, tingkah laku, dan hasil budaya kaum peladang berfokus pada "dunia tengah ini". Kreatifitas budaya kaum peladang tercurah dalam menghadirkan "dunia tengah" atau perkawinan dua entitas yang saling bersebrangan. Pandangan kosmologi, sistem perkampungan, sistem hunian kolektif, sistem hunian individual, benda-benda budaya, upacara, karya-karya seni, dapat dijelaskan dari pandangan dasar "pembagian tiga" ini.Akibat dari cara berpikir tentang kosmos membentuk kaum peladang umumnya sebagai mentalitas ganda, konsumtif-produktif, independen-dependen, individual-kolektif, malas-rajin, dan lain-lain. Memberi dan menerima juga harus seimbang, bersifat resiprokal.      Hubungan darah sangat penting dalam mentalitas kaum peladang, sehingga kategori "dalam", "luar", dan "batas-batas" sangat penting. Diutamakan kepentingan "dalam" terbatas, baru kepentingan "dalam" yang lebih luas. Dampaknya, varian budaya kaum peladang juga kaya, meskipun tidak sekaya kaum peramu. Sehingga mentalitas keluarga pun menonjol. Bahkan dalam beberapa budaya ladang di Indonesia, nama keluarga sangat penting, kedudukan ibu sangat penting, setidaknya dihormati.


Budaya Kaum Pesawah
Mereka hidup dari bertani padi basah di dataran-dataran rendah yang banyak dialiri sungai-sungai. Berbeda dengan petani ladang, petani sawah justru mengubah dan membudayakan alam. Alam dikendalikan demi budaya sawah mereka.

Persawahan tidak dapat dilakukan oleh perorangan dan dalam kelompok kecil. Produksi padi semakin besar kalau jumlah tenaga manusia semakin banyak dan lahan persawahan semakin luas. Masyarakat sawah adalah masyarakat dengan format besar. Tempat hunian dan persawahan bersifat menetap sehingga konsentrasi jumlah manusia semakin besar di suatu wilayah. Lokalitas tanah dan jumlah penduduk menjadi kategori penting masyarakat sawah. Jumlah yang serba besar itu membutuhkan pengaturan sentral dan kuat. Prisip menyatukan segala hal dalam kendali satu pusat merupakan kebutuhan. Sentralisme kekuasaan bukan hal asing. Pemimpin kharismatik sangat diperlukan. Akibatnya, pengaturan sosial dalam stratifikasi diperlukan. Feodalisme bukan hal asing. Prinsip hidup kaum pesawah adalah menyatukan segala hal yang dualistik dalam satu pusat harmoni. Yang satu itu banyak dan yang banyak itu satu. Semakin banyak hal diharmonikan di pusat atau dunia  tengah, semakin tinggi tingkat transendensi "pusat" itu. Kaum pesawah mengenal pembagian tiga ganda. Karena pusat atau dunia tengahnya hanya satu, maka terdapat "pembagian lima". Dampak lebih jauh dari sikap ini adalah tumbuhnya agresivitas kaum petani sawah. Ambisi produksi besar menuntut pembesaran wilayah dan pembesaran jumlah tenaga manusia.Budaya ini menumbuhkan mental kolektivitas, solidaritas, lokalitas, produktivitas, dan organisasi kerja besar. Berbeda dengan masyarakat ladang yang tertutup dalam konsep sosial " dalam" dan "luar", maka masyarakat sawah lebih terbuka dalam menghadapi "luar", yang "luar" itu akan diterima sebagai "dalam" kalau berfungsi secara integral dalam kesatuan organisasi besar mereka.


Budaya Kaum Maritim
    

Masyarakat budaya kaum maritim menghuni daerah pesisir dengan ketrampilan kelautan yang tinggi. Laut memang "memisahkan" tetapi juga sekaligus "menyatukan". Kaum maritim menghubungkan budaya-budaya yang terpisah-pisah di Indonesia itu dalam jaringan komunikasi yang mereka kuasai. Ini mendidik kaum maritim menjadi masyarakat bermental pragmatis. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Mentalitas mereka tidak membedakan kategori "dalam" dan "luar". Semua yang "luar" dan "asing" itu dapat diterima sebagai "dalam" kalau menguntungkan.

Mobilitas masyarakat ini tinggi. Jarak dan geografi bukan masalah bagi mereka. Pantun-pantun mereka dipenuhi dengan nama-nama tempat. Teknologi dan keahlian teknis sangat dipentingkan sebagai salah satu fokus budaya. Manusia itu berharga karena tingkat teknologi yang tinggi. Persaingan dan permusuhan seperti menjadi prinsip kaum peramu juga dijadikan prinsip kaum maritim. Dalam budaya kaum maritim hidup itu persaingan dan perebutan sehingga kecerdikan dijunjung tinggi meskipun tak jarang menjadi kelicikan. Berkaitan dengan hal ini, rasa harga diri mereka sangat tinggi. Arogansi mereka tampak berbalikan dengan sikap kaum petani ladang dan peramu yang cenderung rendah hati. Akibat persaingan yang kuat, kekuasaan maritim selalu cenderung agresif seperti orang sawah. Ambisi mereka untuk mencapai sesuatu juga besar, bukan dalam tenaga manusia dan luas tanahnya yang dimiliki, tetapi pada penguasaan teknologi dan jaringan komunikasi dagangnya. Tak heran jika sejarah kepulauan Indonesia penuh dengan pertikaian kekuasaan orang sawah dengan kekuasaan orang kelautan.Meskipun faham dualisme tetap dipakai, namun sangat fleksibel dalam mengadopsi "pembagian dua", "pembagian tiga", dan "pembagian empat-lima". Umumnya kaum maritim tumbuh dari budaya lading dan sawah. Sikap independensi kaum kelautan ini juga tinggi seperti kaum peramu.


Pentingnya Memahami Keanekaragaman Budaya Di Indonesia    

Kesalahfahaman budaya sering terjadi di Indonesia masa sekarang karena banyak pemimpin Indonesia menggunakan ukuran budaya asalnya sendiri dalam menghadapi masalah-masalah di wilayah budaya lain. Kekuasaan pada seorang pemimpin kharismatik yang terpusat mungkin dapa diterima umum dalam masyarakat tertentu karena budayanya menunjukkan demikian, tetapi bagaimana di masyarakat lain yang budayanya biasa memilih pemimpin berkualitas tanpa mempedulikan keturunan pemimpin berkharisma?

Oleh karena itu sangat penting memahami keanekaragaman budaya Indonesia yang tidak memiliki sejarah linear. Hulu sejarah kita plural, dan tetap plural sampai hari ini dalam struktur mentalitas masyarakat pendukungnya.

Keberagaman budaya hanya kita lihat dari kesenian yang terbawa dari masa lalu ke masa kini. Keberagaman itu terpendam dalam sikap budaya berupa mentalitas dan ungkapan kolektif ketika mereka menghadapi persoalan masa kini, yang sering tidak disadari berbagai pihak. Apakah makna pemimpin itu sama bagi masyarakat Sunda, Melayu, Jawa? Apakah hak milik itu sama bagi masyarakat Dayak, Papua, dan Bali? Apa arti kekuasaan bagi masyarakat Ambon, Sulawesi, dan Nusa Tenggara? Sikap hidup dan mentalitas kolektif itu dibentuk oleh budayanya, kita hanya dapat mengetahui keberadaannya yang beragam lewat apa yang telah dihasilkannya berupa artefak-artefak budaya masyarakat sepanjang sejarahnya. Sejarah budaya kita membuktikan bahwa candi-candi Hindu-Budha yang dibangun di kerajaan-kerajaan Jawa yang sawah berbeda dengan candi-candi yang sama di Melayu yang kelautan dan perladangan. Mitologi Maluku Utara, Minangkabau, Lombok dan daerah lain dalam menanggapi masuknya agama dan budaya Islam pun berbeda.Dengan "Bhineka Tunggal Ika", apakah menyatunya berbagai budaya asal dalam wujud baru budaya Indonesia itu hanya merupakan keinginan sekelompok orang atau kebutuhan  bersama? Indonesia yang satu itu dibutuhkan oleh 19 wilayah budaya besar atau lebih dari 250 budaya yang lebih rinci.

Lalu apakah nasional itu? Nasional tentunya yang ika itu. Tetapi keikaan mana yang akan dipakai? Nasional kaum pesawah akan berbeda dengan nasional kaum maritim, kaum peramu, dan kaum peladang. Nasional persawahan akan mendatangkan masalah bagi nasional peramu, peladang, dan maritim. Kenasionalan kita seharusnya transenden, yang tidak dikandung oleh masing-masing jenis budaya tersebut. Faham-faham global transenden bagi budaya-budaya Indonesia. Kapitalisme, liberalisme, sosialisme, demokrasi, semua itu produk budaya "yang tak dikenal" dalam budaya-budaya di Indonesia. Masalahnya kapitalisme di budaya ladang berbeda dengan kapitalisme di budaya sawah, dan lain-lain. Kita tak dapat memilih  di lingkungan budaya mana kita minta dilahirkan.  Masing-masing kita terlahir dan tumbuh di lingkungan budaya dari primordial peramu, ladang, sawah, dan maritim. Dalam proses menjadi budaya yang ika, nasional di tengah-tengah penerimaan budaya global, kita tidak dapat menjadikan salah satu dari empat jenis budaya primordial sebagai tolok ukur dan panduan utama. Kalau kita menjadikan satu budaya untuk tolok ukur, diam-diam akan tumbuh sikap kontra budaya terhadap budaya dominan.Sekarang kita tentu sangat mengharapkan bahwa kebudayaan yang tadinya sesak mulai melonggarkan dirinya. Segala sesuatu direnungkan dan dipertimbangkan, termasuk keyakinan-keyakinan yang telah mengeras secara sosial. Intoleransi digeser oleh toleransi. Saling curiga diganti dengan saling percaya. Keraguan dibalik m

Tidak ada komentar:

Posting Komentar