Jumat, 28 Oktober 2011

Kebudayaan Banten

Banyak para ahli mendefinisikan kebudayaan yang secara redaksional dan mungkin substansial berbeda satu sama lain. Kaitan dengan upaya agar mudah melihat kebudayaan Banten, konsep kebudayaan yang kiranya sederhana ialah yang dikemukakan oleh Dr. Koentjaaningrat. Ia menyatakan bahwa kebudayaan ialah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Definisi ini menunjukkan dengan jelas bahwa kebudayaan itu meliputi dimensi gagasan (sebagai aspek ideal yang tidak terlihat), dimensi perbuatan (tindakan) (sebagai aspek faktual yang dapat dilihat), dan dimensi hasil karya (sebagai aspek fisik yang dapat dilihat dan diamati berulang kali).
Dari ketiga dimensi tersebut yang bisa dikenali secara langsung adalah kebudayaan pada dimensi fisik dan perbuatan (kelakuan). Kemudian diperlukan juga kejelasan pada unsur apa dua dimensi tersebut diamati. Yang paling mungkin ialah pada unsur-unsur kebudayaan yang menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur, yaitu:

1. Bahasa
2. Sistem Pengetahuan
3. Organisasi Sosial
4. Sistem Religi
5. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
6. Sistem Mata Pencaharian Hidup
7. Kesenian
Banten sebagai komunitas kultural sebagaimana dinyatakan di atas, tentu dengan kebudayaannya itu dapat diamati (dipotret) melalui unsur-unsur kebudayaannya, khususnya melalui dan pada dimensi fisik atau kelakuan (perbuatan). Unsur-unsur kebudayaan tersebut memang ada pada kebudayaan Banten yang berarti bahwa Banten sebagai komunitas kultural adalah benar. Pengamatan untuk ini dilakukan dengan melihat sisi-sisi tradisi dan sisa-sisa peninggalan fisik (artefak) di Banten yang secara simbolik dapat diinterpretasi. Apalagi sisa-sisa tradisi dan sisa-sisa peninggalan fisik itu menurut Ambari, sarat dengan ciri dan pengaruh Islam.

Budaya Banten dan Perubahan-perubahannya
Melalui unsur-unsur kebudayaan, kiranya dapat digambarkan keberadaan Banten dari masa pertama dan perkembangannya kini. Secara deskriptif dapat dikemukakan sbb:
Bahasa. Sebelum kedatangan Syarif Hidayatullah di Banten bahasa penduduk yang pusat kekuasaan politiknya di Banten Girang, adalah bahasa Sunda. Sedangkan bahasa Jawa, dibawa oleh Syarif Hidayatullah, kemudian oleh puteranya, Hasanuddin, berbarengan dengan penyebaran agama Islam. Dalam kontak budaya yang terjadi, bahasa Sunda dan bahasa Jawa itu saling mempengaruhi yang pada gilirannya membentuk bahasa Jawa dengan dialek tersendiri dan bahasa Sunda juga dengan dialeknya sendiri. Artinya, bahasa Jawa lepas dari induknya (Demak, Solo, dan Yogya) dan bahasa Sunda juga terputus dengan pengembangannya di Priangan sehingga membentuk bahasa sunda dengan dialeknya sendiri pula; kita lihat misalnya di daerah-daerah Tangerang, Carenang, Cikande, dan lain-lain, selain di Banten bagian Selatan.
Bahasa Jawa yang pada permulaan abad ke-17 mulai tumbuh dan berkembang di Banten, bahkan menjadi bahasa resmi keraton termasuk pada pusat-pusat pemerintahan di daerah-daerah. Sesungguhnya pengaruh keraton itulah yang telah menyebabkan bahasa Jawa dapat berkembang dengan pesat di daerah Banten Utara. Dengan demikian lambat laun pengaruh keraton telah membentuk masyarakat berbahasa Jawa. Pada akhirnya, bahasa Jawa Banten tetap berkembang meskipun keraton tiada lagi.
Bahasa Jawa dimaksud dalam pengungakapannya menggunakan tulisan Arab (Pegon)  seperti kita temukan pada manuskript, babad, dan dokumen-dokumen tertentu. Penggunaan huruf Arab (Pegon) didorong oleh dan disebabkan karena:
Penggunaan aksara lama terdesak oleh huruf Arab setelah Islamisasi.
Huruf Arab menjadi sarana komunikasi kaum maju, sedangkan aksara menjadi alat komunikasi kaum elit/lama/feodal, ditambah pihak kolonial yang mengutamakan aksara Ijawa). Kaum maju tersebut adalah masyarakat pemberontak, atau setidak-tidaknya tidak setuju dengan adanya penguasaan asing sehingga huruf Arab dipergunakan sebagai sarana lebih aman dan juga rahasia.
Di lain pihak, terutama kaum lama, penggunan huruf Pegon memberikan corak Islam dalam tulisan yang tidak selalu bersifat Islam, sehingga lebih aman beredar/mengisi permintaan rakyat.

Untuk mempermudah kajian dan penelitian isi, terutama masalah-masalah hukum, huruf Arab lalu disalin ke dalam tulisan (huruf) latin sebelum kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa lain, terutama Belanda. Bahasa Jawa dengan tulisan latin itu merupakan perkembangan kemudian karena pada aslinya menggunakan tulisan Arab. Demikian pula perkembangan perbendaharaan kata dipengaruhi oleh lingkungan bahasa Sunda, bahasa Arab, dan bahasa lain. Pada jaman penjajahan Belanda, ada juga pengaruh bahasa Belanda yang masuk ke dalam bahasa Jawa, misalnya sekola, yang semula ginau. Pada perkembangan sekarang, bahasa Jawa Banten ternyata juga dipengaruhi oleh bahasa Indonesia; mungkin demikian seterusnya, tetapi bahasa ini akan tetap ada sesuai dengan keberadaan pendukungnya.

Sistem Pengetahuan
Pengetahuan manusia merupakan akumulasi dari tangkapannya terhadap nilai-nilai yang diacu dan dipahami, misalnya agama, kebiasaan, dan aturan-aturan. Pengetahuan manusia tidak berdiri sendiri melainkan berhubungan dengan elemen-elemen lain, dan karena itu maka disebut sistem pengetahuan. Salah satu (sistem) pengetahuan sebagai salah satu unsur kebudayaan Banten adalah misalnya pengetahuan tentang kosmologi (alam semesta). Pada fase perkembangan awal pengetahuan tentang kosmologi orang Banten adalah bahwa alam ini milik Gusti Pangeran yang dititipkan kepada Sultan yang berpangkat Wali setelah Nabi. Karena itu hierarchi Sultan adalah suci.
Gusti Pangeran itu mempunyai kekuatan yang luar biasa yang sebagian kecil dari kekuatannya itu diberikan kepada manusia melalui pendekatan diri. Yang mengetahui formula-formula pendekatan diri untuk memperoleh kekuatan itu adalah para Sultan dan para Wali, karena itu Sultan dan para Wali itu sakti. Kesaktian Sultan dan para wali itu dapat disebarkan kepada keturunan dan kepada siapa saja yang berguru (mengabdi).
Pengetahuan yang berakar pada kosmologi tersebut masih ada sampai kini sehingga teridentifikasi dalam pengetahuan magis. Mungkin dalam perkembangan kelak tidak bisa diprediksi menjadi hilang, bahkan mungkin menjadi alternartif bersama-sama dengan (sistem) pengetahuan yang lain.
Organisasi Sosial
Yang dimaksud dengan organisasi sosial adalah suatu sistem dimana manusia sebagai mahluk sosial berinteraksi. Adanya organisasi sosial itu karena ada ketundukan terhadap pranata sosial yang diartikan oleh Suparlan sebagai seperangkat aturan-aturan yang berkenaan dengan kedudukan dan penggolongan dalam suatu struktur yang mencakup suatu satuan kehidupan sosial, dan mengatur peranan serta berbagai hubungan kedudukan, dan peranan dalam tindakan-tindakan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
Di antara bentuk organisasi sosial di Banten adalah stratifikasi sosial. Pada awal di jaman Kesultanan, lapisan atas dalam stratifikasi sosial adalah pada Sultan dan keluarganya/keturunannya sebagai lapisan bangsawan. Kemudian para pejabat kesultanan, dan akhirnya rakyat biasa. Pada perkembangan selanjutnya, hilangnya kesultanan, yang sebagian peranannya beralih pada Kiyai (kaum spiritual), dalam stratifikasi sosial merekalah yang ada pada lapisan atas. Jika peranan itu berpindah kepada kelompok lain, maka berpindah pulalah palisan itu.

Sistem Religi
Yang dimaksud dengan sistem religi adalah hubungan antar elemen-elemen dalam upacara agama. Agama Islam sebagai agama resmi keraton dan keseluruhan wilayah kesultanan, dalam upacara-upacaranya mempunyai sistem sendiri, yang meliputi peralatan upacara, pelaku upacara, dan jalannya upacara. Misalnya dalam upacara Salat, ada peralatan-peralannya dari sejak mesjid, bedug, tongtong, menara, mimbar, mihrab, padasan (pekulen), dan lain-lain. Demikian pula ada pelakunya, dari sejak Imam, makmum, tukang Adzan, berbusana, dan lain-lain; sampai kemudian tata cara upacaranya.
Di jaman kesultanan, Imam sebagai pemimpin upacara Salat itu adalah Sultan sendiri yang pada transformasinya kemudian diserahkan kepada Kadi. Pada perubahan dengan tidak ada sultan, maka upacara agama berpindah kepemimpinannya kepada kiyai. Perkembangan selanjutnya bisa jadi berubah karena transformasi peranan yang terjadi.

Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Kehidupan masyarakat memang memerlukan peralatan dan teknologi. Memperhatikan paralatan hidup dan teknologi dalam kebudayaan Banten, dapat diperoleh informasinya dari peninggalan masa lalu. Salah satu diantaranya misalnya relief, penemuan benda-benda arkeologis, dan catatan-catatan masa lalu. Di jaman kesultanan, kehidupan masyarakat ditandai dengan bertani, berdagang, dan berlayar termasuk nelayan. Dari corak kehidupan ini terlihat bahwa peralatan hidup bagi petani masih terbatas pada alat-alat gali dan lain-lain termasuk pemanfaatan hewan sebagai sumber energi.
Angkutan dan teknologi pelayaran masih memanfaatkan energi angin yang karenanya berkembang pengetahuan ramalan cuaca secara tradisional, misalnya dengan memanfaatkan tanda-tanda alam. Demikian pula teknik pengolahan logam, pembuatan bejana, dan lain-lain, memanfaatkan energi alam dan manusia. Tentu saja aspek (unsur kebudayaan) ini secara struktural mengalami perubahan pada kini dan nanti, meski secara fungsional mungkin tetap.

Sistem Mata Pencaharian Hidup
Gambaran perkembangan mengenai hal ini untuk sejarah manusia, akan tersentuh dengan kehidupan primitif, dari hidup berburu sampai bercocok tanam. Hubungannya dengan kebudayaan Banten, sistem mata pencaharian hidup sebagai salah satu unsur kebudayaan, terlihat dari jaman kesultanan. Mata pencaharian hidup dari hasil bumi menampilkan adanya pertanian. Dalam sistem pertanian itu ada tradisi yang masih nampak, misalnya hubungan antara pemilik tanaman (petani) dan orang-orang yang berhak ikut mengetam dengan pembagian tertentu menurut tradisi.
Dalam nelayan misalnya ada sistem simbiosis antara juragan dan pengikut-pengikutnya dalam usaha payang misalnya. Kedua belah pihak dalam mata pencaharian hidup itu terjalin secara tradisional dalam sistem mata pencaharian. Mungkin pula hubungan itu menjadi hubungan kekerabatan atau hubungan Patron-Clien.
Pada masa kini kemungkinan sistem tersebut sudah berubah, disamping karena perubahan mata pencaharian hidup, juga berubah dalam sistemnya karena penemuan peralatan (teknologi) baru. Demikian pula kemungkinan di masa yang akan datang.
Kesenian
Kesenian adalah keahlian dan keterampilan manusia untuk menciptakan dan melahirkan hal-hal yang bernilai indah. Ukuran keindahannya tergantung pada kebudayaan setempat, karena kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan. Dari segi macam-macamnya, kesenian itu terdapat banyak macamnya, dari yang bersumber pada keindahan suara dan pandangan sampai pada perasaan, bahkan mungkin menyentuh spiritual.
Ada tanda-tanda kesenian Banten itu merupakan kesenian peninggalan sebelum Islam dan dipadu atau diwarnai dengan agama Islam. Misalnya arsitektur mesjid dengan tiga tingkat sebagai simbolisasi Iman, Islam, Ihsan, atau Syari’at, tharekat, hakekat. Arsitektur seperti ini berlaku di seluruh masjid di Banten. Kemudian ada kecenderungan berubah menjadi bentuk kubah, dan mungkin pada bentuk apa lagi, tapi yang nampak ada kecenderungan lepas dari simbolisasi agama melainkan pada seni itu sendiri.
Arsitektur rumah adat yang mengandung filosofi kehidupan keluarga, aturan tabu, dan nilai-nilai prifasi, yang dituangkan dalam bentuk ruangan paralel dengan atap panggung Ikan Pe, dan tiang-tiang penyanggah tertentu. Filosofi itu telah berubah menjadi keindahan fisik sehingga arsitekturnya hanya bermakna aestetik.
Mengenai kesenian lain, ada pula yang teridentifikasi kesenian lama (dulu) yang belum berubah, kecuali mungkin kemasannya. Kesenian-kesenian dimaksud ialah:
1. Seni Debus Surosowan
2. Seni Debus Pusaka Banten
3. Seni Rudat
4. Seni Terbang Gede
5. Seni Patingtung
6. Seni Wayang Golek
7. Seni Saman
8. Seni Sulap-Kebatinan
9. Seni Angklung Buhum
10. Seni Beluk
11. Seni Wawacan Syekh
12. Seni Mawalan
13. Seni Kasidahan
14. Seni Gambus
15. Seni Reog
16. Seni Calung
17. Seni Marhaban
18. Seni Dzikir Mulud
19. Seni Terbang Genjring
20. Seni Bendrong Lesung
21. Seni Gacle
22. Seni Buka Pintu
23. Seni Wayang Kulit
24. Seni Tari Wewe
25. Seni Adu Bedug
26. Dan lain-lain
Kesenian-kesenian tersebut masih tetap ada, mungkin belum berubah kecuali kemasan-kemasannya, misalnya pada kesenian kasidah dan gambus. Relevansi kesenian tradisional ini mungkin, jika berkenaan dengan obyek kajian penelitian maka yang diperlukan adalah orsinilitasnya. Tetapi jika untuk kepentingan pariwisata maka perlu kemasan yang menarik tanpa menghilangkan substansinya.
Walaupun mungkin, secara umum kesenian-kesenian tersebut akan tunduk pada hukum perubahan sehubungan dengan pengaruh kebudayaan lain. Mungkin karena tidak diminati yang artinya tidak ada pendukung pada kesenian itu, bisa jadi lama atau tidak, akan punah. Karena itu, mengenai kesenian yang tidak boleh lepas dari nilai-nilai Kebudayaan Banten, bisa jadi atau malah harus ada perubahan kemasan.

Budaya Bali Seni Kebudayaan Masyarakat Bali

Budaya Bali Seni Kebudayaan Masyarakat Bali

Budaya Bali Seni Kebudayaan Masyarakat Bali - Mengenal lebih dekat tentang kehidupan masyarakat Bali tentunya juga harus memahami seni kebudayaan yang ada di pulau wisata ini. Pulau yang terkenal dengan sebutan pulau Dewata ini mampu manrik perhatian dunia, khususnya wisatawan.

Bali, selalu menawarkan pesona. Begitu menurut kata banyak orang. Bali merupakan surga wisata Indonesia, Boleh jadi iya karena harus di akui untuk saat ini Bali memang menjadi tujuan favorit penghobby traveling di Indonesia. Tidak hanya sektor wisata saja yang menarik di pulau dewata ini. Ternyata Budaya Bali juga menarik untuk di kenal sebagai khasanah kekayaan kebudayaan Indonesia.


Nilai-nilai budaya Bali terdiri dari

1. Nilai tata krama : yaitu kebiasaan sikap sopan santun yang di sepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia di dalam kelompoknya.
2. Nilai Nguopin : gotong royong antar masyarakat yang ada di Bali.
3. Nilai Ngayah atau ngayang : Berupa kerja bakti yang tujuannya untuk keperluan agama.
4. Nilai Sopan santun : Kebudayaan bali berupa adat hubungan dalam sopan santun dalam pergaulan terhadap orang-orang yang berbeda sex.

Berikut ini merupakan daftar kebudayaan di pulau Bali yang meliputi rumah adat bali, musik Bali, pakaian daerah serta yang berkaitan dengan seni budaya Bali.

Pakaian Daerah Bali
Pakaian yang berasal dari daerah Bali memiliki banyakt bervariasi, meskipun terkadang secara selintas kelihatannya sama. Di setiap daerah di Bali memiliki ciri khas simbolik dan juga ada ornamen, berdasarkan kegiatan/upacara, jenis kelamin dan umur penggunanya. Dengan melihat hal tersebut di atas bisa di lihat bagaimana status sosial serta status ekonomi seseorang di Bali yaitu dengan mengetahui jenis corak busana dan ornamen perhiasan apa yang dipakainya.

Seni Tradisional Bali
Seni kebudayaan seperti tari Bali pada umumnya di bagi menjadi tiga kategori, diantaranya adalah wali atau seni yaitu tari pertunjukan sakral, bebali atau seni tari pertunjukan yang biasanya untuk upacara dan juga sering di tampilkan untuk untuk pengunjung yang datang ke Bali serta balih-balihan atau seni tari yang sifatnya untuk hiburan. Salah satu jenis seni tarian yang ada di Balidan sangat populer bagi para wisatawan adalah Tari Kecak.

Seni Musik Bali
Jenis musik tradisional Bali sebetulnya memiliki kesamaan dengan musik tradisional yang ada di banyak daerah lainnya di Indonesia. tapi terdapat ciri khas dalam teknik memainkan dan gubahannya yaitu dalam bentuk kecak. Seni kecak yaitu sebentuk nyanyian yang konon menirukan suara kera. Alat musik tradisional di Bali adalah, Gamelan, Jegog, serta Genggong.

Rumah Adat Bali
Jenis Rumah Adat Bali harus sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali seperti layaknya Feng Shui dalam Budaya China.

Masyarakat Bali memiliki filosofi berupa kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan dan parahyangan. Sehingga dalam pembangunan sebuah rumah harus memperhatikan aspek-aspek tersebut atau yang biasa di namakan masyarakat Bali dengan Tri Hita Karana. Pawongan bermakna para penghuni rumah. Sedangkan Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya.

Hampir setiap bangunan atau arsitektur tradisional yang ada daerah Bali selalu dipenuhi dengan banyak hiasan berupa ukiran, peralatan, serta pemberian warna. Hal tersebut ternyata mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi.

Budaya Nusa Tenggara Timur


Provinsi NTT kaya akan ragam budaya baik bahasa maupun suku bangsanya seperti tertera dalam di bawah ini:

Jumlah Bahasa Daerah
Jumlah bahasa yang dimiliki cukup banyak dan tersebar pada pulau-pulau yang ada yaitu:
Pengguna Bahasa di Nusa Tenggara Timur
 
Pakaian Adat Rote Rumah adat Sumba Kuburan Megalitik Tarian caci
  1. Timor, Rote, Sabu, dan pulau-pulau kecil disekitarnya: Bahasanya menggunakan bahasa Kupang, Melayu Kupang, Dawan Amarasi, Helong Rote, Sabu, Tetun, Bural:
  2. Alor dan pulau-pulau disekitarnya: Bahasanya menggunakan Tewo kedebang, Blagar, Lamuan Abui, Adeng, Katola, Taangla, Pui, Kolana, Kui, Pura Kang Samila, Kule, Aluru, Kayu Kaileso
  3. Flores dan pulau-pulau disekitarnya: Bahasanya menggunakan melayu, Laratuka, Lamaholot, Kedang, Krawe, Palue, Sikka, lio, Lio Ende, Naga Keo, Ngada, Ramba, Ruteng, Manggarai, bajo, Komodo
  4. Sumba dan pualu-ulau kecil disekitarnya: Bahasanya menggunakan Kambera, Wewewa, Anakalang, Lamboya, Mamboro, Wanokaka, Loli, Kodi
Jumlah Suku /Etnis
Penduduk asli NTT terdiri dari berbagai suku yang mendiami daerah-daerah yang tersebar Diseluruh wilayah NTT, sebagai berikut:
  1. Helong: Sebagian wilayah Kabupaten Kupang (Kec.Kupang Tengah dan Kupang Barat serta Semau)
  2. Dawan: Sebagian wilayah Kupang (Kec. Amarasi, Amfoang, Kupang Timur, Kupang Tengah, Kab timor Tengah selatan, Timor Tengah Utara, Belu ( bagian perbatasan dengan TTU)
  3. Tetun: Sebagian besar Kab. Belu dan wilayah Negara Timor Leste
  4. Kemak: Sebagian kecil Kab. Belu dan wilayah Negara Timor Leste
  5. Marae: Sebagian kecil Kab. Belu bagian utara dekat dengan perbatasan dengan Negara Timor Leste
  6. Rote: Sebagian besar pulau rote dan sepanjang pantai utara Kab Kupang dan pulau Semau
  7. Sabu / Rae Havu: Pulau Sabu dan Raijua serta beberapa daerah di Sumba
  8. Sumba: Pulau Sumba
  9. Manggarai Riung: Pulau Flores bagian barat terutama Kan Manggarai dan Manggarai Barat
  10. Ngada: Sebagian besar Kab Ngada
  11. Ende Lio: Kabupaten Ende
  12. Sikka-Krowe Muhang: Kabupaten Sikka
  13. Lamaholor: Kabupaten Flores Timur meliputi Pulau Adonara, Pulau Solor dan sebagian Pulau Lomblen
  14. Kedang: Ujung Timur Pulau Lomblen
  15. Labala: Ujung selatan Pulau Lomblen
  16. Pulau Alor: Pulau Alor dan pulau Pantar.

BUDAYA FLORES TIMUR
Flotim merupakan wilayah kepulauan dengan luas 3079,23 km2, berbatasan dengan kabupaten Alor di timur, kabupaten Sikka di barat utara dengan laut Flores dan selatan, laut Sawu.

Orang yang berasal dari Flores Timur sering disebut orang Lamaholot, karena bahasa yang digunakan bahasa suku Lamaholot.

Konsep rumah adat orang Flotim selalu dianggap sebagai pusat kegiatan ritual suku. Rumah adat dijadikan tempat untuk menghormati Lera Wulan Tana Ekan (wujud tertinggi yang mengciptakan dan yang empunya bumi).

Pelapisan social masyarakat tergantung pada awal mula kedatangan penduduk pertama, karena itu dikenal adanya tuan tanah yang memutuskan segala sesuatu, membagi tanah kepada suku Mehen yang tiba kemudian, disusul suku Ketawo yang memperoleh hak tinggal dan mengolah tanah dari suku Mehen.
Suku Mehen mempertahankan eksistensinya yang dinilainya sebagai tuan tanah, jadilah mereka pendekar-pendekar perang, yang dibantu suku Ketawo.

Mata pencaharian orang Flotim/Lamaholot yang utama terlihat dalam ungkapan sebagai berikut:

Ola tugu,here happen, lLua watana,
Gere Kiwan, Pau kewa heka ana,
Geleka lewo gewayan, toran murin laran.

Artinya:

Bekerja di ladang, Mengiris tuak, berkerang (mencari siput dilaut), berkarya di gunung, melayani/memberi hidup keluarga (istri dan anak-anak) mengabdi kepada pertiwi/tanah air, menerima tamu asing. 

BUDAYA SIKKA
Sikka berbatasan sebelah utara dengan laut Flores, sebelah selatan dengan Laut Sabu, dan sebelah timur dengan kabupaten Flores Timur, bagian barat dengan kabupaten Ende. Luas wilayah kabupaten Sikka 1731,9 km2.

Ibu kota Sikka ialah Maumere yang terletak menghadap ke pantai utara, laut Flores. Konon nama Sikka berasal dari nama suatu tempat dikawasan Indocina. Sikka dan dari sinilah kemungkinan bermula orang berimigrasi kewilayah nusantara menuju ke timur dan menetap disebuah desa pantai selatan yakni Sikka. Nama ini Kemudian menjadi pemukiman pertama penduduk asli Sikka di kecamatan Lela sekarang. Turunan ini bakal menjadi tuan tanah di wilayah ini.

Pelapisan sosial dari masyarakat Sikka. Lapisan atas disebut sebagai Ine Gete Ama Gahar yang terdiri para raja dan bangsawan. Tanda umum pelapisan itu di zaman dahulu ialah memiliki warisan pemerintahan tradisional kemasyarakatan, di samping pemilikan harta warisa keluarga maupun nenek moyangnya. Lapisan kedua ialah Ata Rinung dengan ciri pelapisan melaksanakan fungsi bantuan terhadap para bangsawan dan melanjutkan semua amanat terhadap masyarakat biasa/orang kebanyakan umumnya yang dikenal sebagai lapisan ketiga yakni Mepu atau Maha.

Secara umum masyarakat kabupaten Sikka terinci atas beberapa nama suku; (1) ata Sikka, (2) ata Krowe, (3) ata Tana ai, desamping itu dikenal juga suku-suku pendatang yaitu: (4) ata Goan, (5) ata Lua, (6) ata Lio, (7) ata Ende, (8) ata Sina, (9) ata Sabu/Rote, (10) ata Bura.

Mata pencaharian masyarakat Sikka umumnya pertanian. Adapun kelender pertanian sbb: Bulan Wulan Waran - More Duru (Okt-Nov) yaitu bulan untuk membersihkan kebun, menanam, menyusul di bulan Bleke Gete-Bleke Doi - Kowo (Januari, Pebuari, Maret) masa untuk menyiangi kebun (padi dan jagung) serta memetik, dalam bulan Balu Goit - Balu Epan - Blepo (April s/d Juni) masa untuk memetik dan menanam palawija /kacang-kacangan. Sedangkan pada akhir kelender kerja pertanian yaitu bulan Pupun Porun Blebe Oin Ali-Ilin (Agustus - September). 

BUDAYA ENDE
Batas-batas wilayahnya yang membentang dari pantai utara ke selatan itu adalah dibagian timur dengan kabupaten Sikka, bagian barat dengan kabupaten Ngada, utara dengan laut Flores, selatan dengan laut Sabu. Luas kabupaten Ende 2046,6 km2, iklim daerah ini pada umumnya tropis dengan curah hujan rata-rata 6096 mm/tahun dengan rata rata jumlah hari hujan terbanyak pada bulan November s/d Januari.
Daerah yang paling terbanyak mendapat hujan adalah wilayah tengah seperti kawasan gunung Kalimutu, Detusoko, Welamosa yang berkisar antara 1700 mm s/d 4000 mm/tahun.

Nama Ende sendiri konon ada yang menyebutkannya sebagai Endeh, Nusa Ende, atau dalam literatur kuno menyebut Inde atau Ynde. Ada dugaan yang kuat bahwa nama itu mungkin sekali diberikan sekitar abad ke 14 pada waktu orang-orang maleyu memperdagangkan tenunan besar nan mahal yakni Tjindai sejenis sarung patola dalam pelayaran perdagangan mereka ke Ende.

Ende/Lio sering disebut dalam satu kesatuan nama yang tidak dapat dipisahkan. Meskipun demikian sikap ego dalam menyebutkan diri sendiri seperti : Jao Ata Ende atau Aku ata Lio dapat menunjukan sebenarnya ada batas-batas yang jelas antara ciri khas kedua sebutan itu.

Meskipun secara administrasi masyarakat yang disebut Ende/Lio bermukim dalam batas yang jelas seperti tersebut di atas tetapi dalam kenyataan wilayah kebudayaan (tereitorial kultur) nampaknya lebih luas Lio dari pada Ende.

Pola pemukiman masyarakat baik di Ende maupun Lio umumnya pada mula dari keluarga batih/inti baba (bapak), ine (mama) dan ana (anak-anak) kemudian diperluas sesudah menikah maka anak laki-laki tetap bermukim di rumah induk ataupun sekitar rumah induk. Rumah sendiri umumnya secara tradisional terbuat dari bambu beratap daun rumbia maupun alang-alang.

Lapisan bangsawan masyarakat Lio disebut Mosalaki ria bewa, lapisan bansawan menengah disebut Mosalaki puu dan Tuke sani untuk masyarakat biasa. Sedangkan masyarakat Ende bangsawan disebut Ata NggaE, turunan raja Ata Nggae Mere, lapisan menegah disebut Ata Hoo dan budak dati Ata Hoo disebut Hoo Tai Manu. 

BUDAYA NGADA
Ngada merupakan kabupaten yang terletak diantara kabupaten Ende (di timur) dan Manggarai (di barat). Bajawa ibu kotanya terletak di atas bukit kira-kira 1000 meter di atas permukaan laut. Masyarakat ini dikenal empat kesatuan adat (kelompok etnis) yang memiliki pelbagai tanda-tanda kesatuan yang berbeda.

Kesatuan adat tersebut adalah : (1) Nagekeo, (2) Ngada, (3) Riung, (4) Soa. Masing-masing kesatuan adat mempertahankan ciri kekrabatannya dengan mendukung semacam tanda kesatuan mereka.

Arti keluarga kekrabatan dalam masyarakat Ngada umumnya selain terdekat dalam bentuk keluarga inti Sao maka keluarga yang lebih luas satu simbol dalam pemersatu
(satu Peo, satu Ngadhu, dan Bagha). Ikatan nama membawa hak-hak dan kewajiban tertentu. Contoh setiap anggota kekrabatan dari kesatuan adat istiadat harus taat kepada kepala suku, terutama atas tanah. Setiap masyarakat pendukung mempunyai sebuah rumah pokok (rumah adat) dengan seorang yang mengepalai bagian pangkal Ngadhu ulu Sao Saka puu.

Rumah tradisional disebut juga Sao, bahan rumah terbuat seperti di Ende/Lio (dinding atap, dan lantai /panggungnya). Secara tradisional rumah adat ditandai dengan Weti (ukiran). Ukiran terdiri dari tingkatan-tingkatan misalnya Keka, Sao Keka, Sao Lipi Wisu, Sao Dawu Ngongo, Sao Weti Sagere, Sao Rika Rapo, Sao Lia Roda.

Pelapisan sosial teratas disebut Ata Gae, lapisan menengah disebut Gae Kisa, dan pelapisan terbawah disebut Ata Hoo. Sumber lain menyebutkan pelapisan sosial biasa dibagi atas tiga, Gae (bangsawan), Gae Kisa = kuju, dan golongan rendah (budak). Ada pula yang membagi atas empat strata, Gae (bangsawan pertama), Pati (bangsawan kedua) Baja (bangsawan ketiga), dan Bheku (bangsawan keempat).

Para istri dari setiap pelapisan terutama pelapisan atas dan menengah disebut saja Inegae/Finegae dengan tugas utama menjadi kepala rumah yang memutuskan segala sesuatu di rumah mulai pemasukan dan pengeluaran.

Masyarakat Nagekeo pendukung kebudayaan Paruwitu (kebudayaan berburu), masyarakat Soa pendukung Reba (kebudayaan tahun baru, pesta panen), Pendukung kebudayaan bertani dalam arti yang lebih luas ialah Ngadhu/Peo, terjadi pada sebagian kesatuan adat Nagekeo, Riung, Soa dan Ngada. 

BUDAYA MANGGARAI
Manggarai terletak di ujung barat pulau Flores, berbatasan sebelah timur dengan kabupaten Ngada, barat dengan Sealat sapepulau Sumbawa/kabupaten Bima, utara dengan laut Flores dan selatan dengan laut Sabu.

Luas wilayah 7136,14 km2, wilayah ini dapat dikatakan paling subur di NTT. Areal pertanian amat luas dan subur, perkebunan kopi yang membentang disebahagian wilayahnya, curah hujan yang tinggi yaitu dalam setahun mencapai 27,574 mm, sepertiga dari jumlah itu (lebih dari 7000mm) turun pada bulan Januari.
Ibu kota Manggarai terletak kira-kira 1200 meter di atas permukaan laut, di bawa kaki gunung Pocoranaka

Pembentukan keluarga batih terdiri dari bapak, mama dan anak-anak yang disebut Cak Kilo. Perluasan Cak Kilo membentuk klen kecil Kilo, kemudian klen sedang Panga dan klen besar Wau.

Beberapa istilah yang dikenal dalam sistim kekrabatan antara lain Wae Tua (turunan dari kakak), Wae Koe (turunan dari adik), Ana Rona (turunan keluarga mama), Ana Wina (turunan keluarga saudara perempuan), Amang (saudara lelaki mama), Inang (saudara perempuan bapak), Ema Koe (adik dari bapak), Ema Tua (kakak dari bapak), Ende Koe (adik dari mama), Ende Tua (kakak dari mama), Ema (bapak), Ende (mama), Kae (kakak), Ase (adik), Nana (saudara lelaki), dan Enu (saudara wanita atau istri).

Strata masyarakat Manggarai terdiri atas 3 golongan, kelas pertama disebut Kraeng (Raja/bangsawan), kelas kedua Gelarang ( kelas menengah), dan golongan ketiga Lengge (rakyat jelata).
Raja mempunyai kekuasaan yang absolut, upeti yang tidak dapat dibayar oleh rakyat diharuskan bekerja rodi. Kaum Gelarang bertugas memungut upeti dari Lengge (rakyat jelata). Kaum Gelarang ini merupakan penjaga tanah raja dan sebagai kaum penyambung lidah antara golongan Kraeng dengan Lengge. Status Lengge adalah status yang selalu terancam. Kelompok ini harus selalu bayar pajak, pekerja rodi, dan berkemungkinan besar menjadi hamba sahaya yang sewaktu-waktu dapat dibawah ke Bima dan sangat kecil sekali dapat kembali melihat tempat kelahirannya.

Kamis, 27 Oktober 2011

Kebudayaan Nusa Tenggara Barat

Tari Gendang Beleq
 Tarian ini merupakan tarian khas masyarakat Lombok. Tari Gendang Baleq. Tari Gendang Beleq adalah salah satu tarian dari Lombok, dinamakan demikian karena memakai gendang yang sangat besar.
Pada zaman dahulu tarian ini dipertunjukan untuk mengiringi atau menyambut tentara yang pergi atau pulang dari medan perang.
Tarian ini sering dipakai untuk menyambut tamu-tamu penting sebagai suatu seni, pertunjukan tarian ini juga disebut “Tari Oncer”

·       Barapan Kebo
Aktivitas khas masyarakat Sumbawa, NTB.
Shaman atau juri membacakan jampi-jampi agar kerbau peserta lombatakut mencapai Saka. Jika Saka dilewati oleh peserta barapan kebo, maka Shaman atau juri akan menetapkan bahwa dialah pemenangnya.


Barapan Kebo. Foto: Khairul Anwar/Kompas.com


·              ·     Upacara U’a Pua
Upacara U’a Pua merupakan sebuah tradisi masyarakat Lombok yang dipengaruhi oleh ajaran Islam. Upacara U’a Pua dilaksanakan bersamaan dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang juga dirangkai dengan penampilan atraksi Seni Budaya masyarakat Suku Mbojo (Bima) yang berlangsung selama 7 hari.Prosesi U’a Pua diawali dengan Pawai dari Istana Bima yang diikuti oleh semua Laskar Kesultanan, Keluarga Istana, Group Kesenian Tradisional Bima dengan dua Penari Lenggo yang dilengkapi dengan Upacara Ua Pua. Foto: wisatamelayu.com Kelompok Penunggang Kuda (Jara Sara’u).

Upacara Ua Pua. Foto: wisatamelayu.com
Selama proses pawai berlangsung Group Kesenian terus memainkan Genda Mbojo, Silu dan Genda Lenggo. Ketika memasuki Istana, Penunggang Kuda menari dengan suka ria (Jara Sara’u), Sere, Soka dan lain-lain sampai Ketua Rombongan bertemu dengan Sultan yang diiringi dengan Penari Lenggo. Pada sa’at itu diserahkan ”Sere Pua” dan Al-Qur’an kepada Sultan.

·       Upacara Perang Topat
Upacara Perang Topat adalah salah satu upacara yang dilakukan oleh orang Sasak.


Upacara Perang Topat
Perang Topat adalah upacara ritual sebagai perwujudan rasa terima kasih kepada tuhan atas kemakmuran berupa tanah yang subur, banyak hujan.
Upacara Perang Topat ditampilkan di Taman Lingsar oleh Masyarakat Hindu, Masyarakat Sasak dengan saling melemparkan Topat (Ketupat).
Upacara ini berlangsung setelah selesai “Pedande” memuja yaitu selama periode “Rokok Kembang Waru” sekitar pukul 17.30. Perang Topat dilaksanakan setiap tahun pada saat purnama ke 6 menurut Kalender Sasak atau sekitar Bulan Nopember –Desember.

·       Bau Nyale
Upacara tahunan khas Sasak, antara Februari-Maret, di Pantai Seger Kuta, sekitar 65 km dari Mataram.

Menurut legenda, Nyale atau cacing laut merupakan reinkarnasi dari Putri Mandalika yaitu seorang Putri yang cantik dan berbudi luhur. Ia menceburkan dirinya ke laut karena tidak ingin mengecewakan para pangeran yang memperebutkannya.


Kemunculannya di pantai selatan Pulau Lombok hanya terjadi sekali setahun ditandai dengan keajaiban alam sebagai suatu karunia Tuhan kepada hambanya. Bagi masyarakat Lombok Selatan banyaknya Nyale yang muncul merupakan karunia Tuhan sebagai tanda akan mendapatkan hasil panen yang baik. Bau Nyale, NTB. Foto:wordpress.com

Kebudayaan Bangka Belitung

Budaya Bangka Belitung Seni Kebudayaan Daerah Propinsi Bangka Belitung

Budaya Bangka Belitung Seni Kebudayaan Daerah Propinsi Bangka Belitung - Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dulunya merupakan bagian dari propinsi yang ada di Sumatera Selatan. Pada tahun 2000 yang lalu Bangka Belitung menjadi propinis sendiri seperti halnya Banten dan Gorontalo.

Budaya Bangka Belitung
Banyak hal yang menarik untuk di ketahui tentang kebudayaan yang anda di Bangka Belitung. Banyak even budaya Bangka Belitung yang bisa menarik kunjungan wisatawan asing atau lokal. Dan even budaya yang terdapat di propinsi ini menjadi kekayaan seni dan budaya masyarakat Bangka Belitung. Budaya yang sudah menjadi bagian dari adat masyarakat Bangka Blitung diantaranya adalah Perang Ketupat, Buang Jong, Mandi Belimau, Ruwah, Kongian, Imlek, Sembahyang Rebut, Sembahyang Kubur, Kawin Masal, Nganggung.

Rumah adat Bangka Belitung
Rumah panggung, rumah limas dan rumah rakit merupakan rumah tradisional Bangka Belitung. Hampir sama dengan propinsi lain yang ada di Pulau Sumatera model arsitektur rumah adat Bangka Belitung berciri arsitektur Melayu.

Terdapat tiga macam ciri arsitektur rumah adat yaitu arsitektur Melayu awal, Melayu Bubung Panjang dan Melayu Bubung Limas. Arsitektur rumah Melayu Awal berujud rumah panggung kayu dimana hampir semua bahan material yang di pakai untuk rumah ini berupa kayu, bambu, rotan, akar pohon, daun-daun atau alang-alang yang banyak tumbuh dan sangat mudah diperoleh di sekitar pemukiman.

Arsitektur rumah Melayu Awal ini biasanya beratap tinggi dan sebagian atapnya miring. Saat pembangunan rumah yang berkaitan dengan tiang, masyarakat Kepulauan Bangka Belitung mengenal falsafah 9 tiang, dimana bangunan rumah yang didirikan memiliki 9 buah tiang. Tiang utama tempatnya di tengah dan didirikan pertama kali. Kemuduan atap rumah ditutup dengan daun rumbia. Sementara bagian dindingnya biasanya dibuat dari bahan pelepah/kulit kayu atau menggunakan buluh (bambu).

Seni Tradisional Bangka Belitung
Bangka Belitung memiliki alat musik khas dan juga tarian tradisional yang menjadi kekayaan seni dan kebudayaan propinsi Bangka Belitung di antaranya adalah
Dambus, Suling, Gendang Melayu, Tari Tanggai, Tari Zapin, Tari Campak, Rebana, Rudat, Tari Bahtera Bertiang Tujuh, Sekapur Sirih

KEBUDAYAN PAPUA

Minggu, 23 Oktober 2011

Kebudayaan Lampung

Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964. Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan Karesidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan.
Kendatipun Provinsi Lampung sebelum tanggal 18 maret 1964 tersebut secara administratif masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan, namun daerah ini jauh sebelum Indonesia merdeka memang telah menunjukkan potensi yang sangat besar serta corak warna kebudayaan tersendiri yang dapat menambah khasanah adat budaya di Nusantara yang tercinta ini. Oleh karena itu pada zaman VOC daerah Lampung tidak terlepas dari incaran penjajahan Belanda.
Tatkala Banten dibawah pimpinan Sultan Agung Tirtayasa (1651-1683) Banten berhasil menjadi pusat perdagangan yang dapat menyaingi VOC di perairan Jawa, Sumatra dan Maluku. Sultan Agung ini dalam upaya meluaskan wilayah kekuasaan Banten mendapat hambatan karena dihalang-halangi VOC yang bercokol di Batavia. Putra Sultan Agung Tirtayasa yang bernama Sultan Haji diserahi tugas untuk menggantikan kedudukan mahkota kesultanan Banten.
Dengan kejayaan Sultan Banten pada saat itu tentu saja tidak menyenangkan VOC, oleh karenanya VOC selalu berusaha untuk menguasai kesultanan Banten. Usaha VOC ini berhasil dengan jalan membujuk Sultan Haji sehingga berselisih paham dengan ayahnya Sultan Agung Tirtayasa. Dalam perlawanan menghadapi ayahnya sendiri, Sultan Haji meminta bantuan VOC dan sebagai imbalannya Sultan Haji akan menyerahkan penguasaan atas daerah Lampung kepada VOC. Akhirnya pada tanggal 7 April 1682 Sultan Agung Tirtayasa disingkirkan dan Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten.
Dari perundingan-perundingan antara VOC dengan Sultan Haji menghasilkan sebuah piagam dari Sultan Haji tertanggal 27 Agustus 1682 yang isinya antara lain menyebutkan bahwa sejak saat itu pengawasan perdagangan rempah-rempah atas daerah Lampung diserahkan oleh Sultan Banten kepada VOC yang sekaligus memperoleh monopoli perdagangan di daerah Lampung.
Pada tanggal 29 Agustus 1682 iring-iringan armada VOC dan Banten membuang sauh di Tanjung Tiram. Armada ini dipimpin oleh Vander Schuur dengan membawa surat mandat dari Sultan Haji dan ia mewakili Sultan Banten. Ekspedisi Vander Schuur yang pertama ini ternyata tidak berhasil dan ia tidak mendapatkan lada yag dicari-carinya. Agaknya perdagangan langsung antara VOC dengan Lampung yang dirintisnya mengalami kegagalan, karena ternyata tidak semua penguasa di Lampung langsung tunduk begitu saja kepada kekuasaan Sultan Haji yang bersekutu dengan kompeni, tetapi banyak yang masih mengakui Sultan Agung Tirtayasa sebagai Sultan Banten dan menganggap kompeni tetap sebagai musuh.
Sementara itu timbul keragu-raguan dari VOC apakah benar Lampung berada dibawah Kekuasaan Sultan Banten, kemudian baru diketahui bahwa penguasaan Banten atas Lampung tidak mutlak.
Penempatan wakil-wakil Sultan Banten di Lampung yang disebut "Jenang" atau kadangkadang disebut Gubernur hanyalah dalam mengurus kepentingan perdagangan hasil bumi (lada).
Sedangkan penguasa-penguasa Lampung asli yang terpencar-pencar pada tiap-tiap desa atau kota yang disebut "Adipati" secara hirarkis tidak berada dibawah koordinasi penguasaan Jenang/ Gubernur. Jadi penguasaan Sultan Banten atas Lampung adalah dalam hal garis pantai saja dalam rangka menguasai monopoli arus keluarnya hasil-hasil bumi terutama lada, dengan demikian jelas hubungan Banten-Lampung adalah dalam hubungan saling membutuhkan satu dengan lainnya.
Selanjutnya pada masa Raffles berkuasa pada tahun 1811 ia menduduki daerah Semangka dan tidak mau melepaskan daerah Lampung kepada Belanda karena Raffles beranggapan bahwa Lampung bukanlah jajahan Belanda. Namun setelah Raffles meninggalkan Lampung baru kemudian tahun 1829 ditunjuk Residen Belanda untuk Lampung.

Dalam pada itu sejak tahun 1817 posisi Radin Inten semakin kuat, dan oleh karena itu Belanda merasa khawatir dan mengirimkan ekspedisi kecil di pimpin oleh Assisten Residen Krusemen yang menghasilkan persetujuan bahwa :
  • Radin Inten memperoleh bantuan keuangan dari Belanda sebesar f. 1.200 setahun.
  • Kedua saudara Radin Inten masing-masing akan memperoleh bantuan pula sebesar f. 600 tiap tahun.
  • Radin Inten tidak diperkenankan meluaskan lagi wilayah selain dari desa-desa yang sampai saat itu berada dibawah pengaruhnya.
Tetapi persetujuan itu tidak pernah dipatuhi oleh Radin Inten dan ia tetap melakukan perlawanan-perlawanan terhadap Belanda.
Oleh karena itu pada tahun 1825 Belanda memerintahkan Leliever untuk menangkap Radin Inten, namun dengan cerdik Radin Inten dapat menyerbu benteng Belanda dan membunuh Liliever dan anak buahnya. Akan tetapi karena pada saat itu Belanda sedang menghadapi perang Diponegoro (1825 - 1830), maka Belanda tidak dapat berbuat apa-apa terhadap peristiwa itu. Tahun 1825 Radin Inten meninggal dunia dan digantikan oleh Putranya Radin Imba Kusuma.
Setelah Perang Diponegoro selesai pada tahun 1830 Belanda menyerbu Radin Imba Kusuma di daerah Semangka, kemudian pada tahun 1833 Belanda menyerbu benteng Radin Imba Kusuma, tetapi tidak berhasil mendudukinya. Baru pada tahun 1834 setelah Asisten Residen diganti oleh perwira militer Belanda dan dengan kekuasaan penuh, maka Benteng Radin Imba Kusuma berhasil dikuasai.
Radin Imba Kusuma menyingkir ke daerah Lingga, namun penduduk daerah Lingga ini menangkapnya dan menyerahkan kepada Belanda. Radin Imba Kusuma kemudian di buang ke Pulau Timor.
Dalam pada itu rakyat dipedalaman tetap melakukan perlawanan, "Jalan Halus" dari Belanda dengan memberikan hadiah-hadiah kepada pemimpin-pemimpin perlawanan rakyat Lampung ternyata tidak membawa hasil. Belanda tetap merasa tidak aman, sehingga Belanda membentuk tentara sewaan yang terdiri dari orang-orang Lampung sendiri untuk melindungi kepentingan-kepentingan Belanda di daerah Telukbetung dan sekitarnya. Perlawanan rakyat yang digerakkan oleh putra Radin Imba Kusuma sendiri yang bernama Radin Inten II tetap berlangsung terus, sampai akhirnya Radin Inten II ini ditangkap dan dibunuh oleh tentara-tentara Belanda yang khusus didatangkan dari Batavia.
Sejak itu Belanda mulai leluasa menancapkan kakinya di daerah Lampung. Perkebunan mulai dikembangkan yaitu penanaman kaitsyuk, tembakau, kopi, karet dan kelapa sawit. Untuk kepentingan-kepentingan pengangkutan hasil-hasil perkebunan itu maka tahun 1913 dibangun jalan kereta api dari Telukbetung menuju Palembang.

Hingga menjelang Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 dan periode perjuangan fisik setelah itu, putra Lampung tidak ketinggalan ikut terlibat dan merasakan betapa pahitnya perjuangan melawan penindasan penjajah yang silih berganti. Sehingga pada akhirnya sebagai mana dikemukakan pada awal uraian ini pada tahun 1964 Keresidenan Lampung ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat I Provinsi Lampung.
Kejayaan Lampung sebagai sumber lada hitam pun mengilhami para senimannya sehingga tercipta lagu Tanoh Lada. Bahkan, ketika Lampung diresmikan menjadi provinsi pada 18 Maret 1964, lada hitam menjadi salah satu bagian lambang daerah itu. Namun, sayang saat ini kejayaan tersebut telah pudar.

[sunting] Rumah Adat

Rumah tradisional adat Lampung memiliki kekhasan seperti: berbentuk panggung, atap terbuat dari anyaman ilalang, terbuat dari kayu dikarenakan untuk menghindari serangan hewan dan lebih kokoh bila terjadi gempa bumi, karena masyarakat lampung telah mengenal gempa dari zaman dahulu dan lampung terletak di pertemuan lempeng asia dan australia rumah ini disebut rumah SESAT,

[sunting] Ekonomi

masyarakat pesisir lampung kebanyakan nelayan, dan bercocok tanam. sedangkan masyarakat tengah kebanyakan berkebun lada, kopi, cengkeh, kayu manis dll.

[sunting] Letak dan kondisi alam

Provinsi Lampung memiliki luas 35.376,50 km² dan terletak di antara 105°45'-103°48' BT dan 3°45'-6°45' LS. Daerah ini di sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda dan di sebelah timur dengan Laut Jawa. Beberapa pulau termasuk dalam wilayah Provinsi Lampung, yang sebagian besar terletak di Teluk Lampung, di antaranya: Pulau Darot, Pulau Legundi, Pulau Tegal, Pulau Sebuku, Pulau Ketagian, Pulau Sebesi, Pulau Poahawang, Pulau Krakatau, Pulau Putus dan Pulau Tabuan. Ada juga Pulau Tampang dan Pulau Pisang di yang masuk ke wilayah Kabupaten Lampung Barat.
Keadaan alam Lampung, di sebelah barat dan selatan, di sepanjang pantai merupakan daerah yang berbukit-bukit sebagai sambungan dari jalur Bukit Barisan di Pulau Sumatera. Di tengah-tengah merupakan dataran rendah. Sedangkan ke dekat pantai di sebelah timur, di sepanjang tepi Laut Jawa terus ke utara, merupakan perairan yang luas.

[sunting] Gunung

Gunung-gunung yang puncaknya cukup tinggi, antara lain:

[sunting] Eksplorasi gunung

Gunung-gunung lampung memang tak setinggi gunung-gunung di pulau jawa, tetapi memili kesulitan yang cukup tinggi untuk mendakinya, karena memiliki tingkat kerapatan yang tinggi pula. Mahasiswa pecinta alam universitas lampung (MAPALA UNILA)adalah salah satu organisasi yang sering melakukan penelitian,pendataan dan eksplorasi gunung-gunung di lampung yang masih perawan dan belum terjamah oleh tangan manusia. selain gunung, MAPALA UNILA juga telah banyak melakukan eksplorasi seperti goa didaerah lampung barat(krui), penyu, tebing, sungai, pantai, pulau-pulau disekitar lampung, daerah-daerah terpencil DLL yang ada didaerah lampung.04:32, 13 November 2010 (UTC)

[sunting] Sungai

Sungai-sungai yang mengalir di daerah Lampung menurut panjang dan cathment area (c.a)-nya adalah:
Way Sekampung mengalir di daerah kabupaten Tanggamus dan Lampung Selatan. Anak sungainya banyak, tetapi tidak ada yang panjangnya sampai 100 km. Hanya ada satu sungai yang panjangnya 51 km dengan c.a. 106,97 km2 ialah Way Ketibung di Kalianda.
Way Seputih mengalir di daerah kabupaten Lampung Tengah dengan anak-anak sungai yang panjangnya lebih dari 50 km adalah:
Way Tulangbawang mengalir di kabupaten Tulangbawang dengan anak-anak sungai yang lebih dari 50 km panjangnya, di antaranya:
Way Mesuji yang mengalir di perbatasan provinsi Lampung dan Sumatera Selatan di sebelah utara mempunyai anak sungai bernama Sungai Buaya, sepanjang 70 km dengan c.a. 347,5 km2.
Hutan-hutan besar di dataran rendah dapat dikatakan sudah habis dimanfaatkan untuk keepentingan pembangunan pertanian, untuk para transmigran yang terus-menerus memasuki daerah ini. Kayu-kayu hasil hutan diekspor ke luar negeri. Hutan-hutan yang masih ada, yang tanahnya dapat dikatakan belum banyak dibuka sebagian besar terletak di sebelah barat, di daerah Bukit Barisan Selatan.
Beberapa kota di daerah provinsi Lampung yang tingginya 50 m lebih dari permukaan laut adalah: Tanjungkarang (96 m), Kedaton (100 m), Metro (53), Gisting (480 m), Negerisakti (100 m), Pringsewu (50 m), Pekalongan (50 m), Batanghari (65 m), Punggur (50 m), Padangratu (56 m), Wonosobo (50 m), Kedondong (80 m), Sidomulyo (75 m), Kasui (200 m), Sri Menanti (320 m) dan Kota Liwa (850

Budaya Sulawesi Tenggara Adat Istiadat Dan Seni Tradisional Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara Budaya Sulawesi Tenggara Adat Istiadat Dan Seni Tradisional Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara

Budaya Sulawesi Tenggara Adat Istiadat Dan Seni Tradisional Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara

Budaya Sulawesi Tenggara Adat Istiadat Dan Seni Tradisional Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara - Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi yang di Indonesia yang beribukotakan Kendari. Sulawesi Tenggara memiliki kebudayaan daerah yang menarik dan tentu saja unik karena berbeda dengan budaya daerah lainnya yang ada di Indonesia.

Sebagai salah satu kekayaan budaya indonesia , propinsi ini juga memiliki tradisi yang mudah mudahan saja mesih terus di lestarikan sehingga putra putri Sulawesi Tenggara di masa datang mengenal kebudayaan daerahnya sendiri.

Baca juga  Budaya daerah lain yang masih terdapat di pulau Sulawesi :
  1. Budaya Sulawesi Barat Seni Kebudayaan Daerah Sulawesi Barat
  2. Budaya Sulawesi Selatan Seni Kebudayaan Daerah Sulsel
  3. Budaya Sulawesi Tengah Seni Kebudayaan Daerah Sulteng
  4. Budaya Sulawesi Utara Seni Kebudayaan Daerah Sulut
  
Ada beberapa tradisi yang berasal dari Sulawesi tenggara ini dan ini mungkin menjadi bagian dari adat istiadat di masyarakat Sulawesi Tenggara. Diantara adat istiadat tersebuta adalah Tradisi Kalosara, Tradisi Karia, Layangan Tradisional "Kaghati", Tradisi Pusuo serta Pesta Adat Pakande Kandea.

Kebudayaan Daerah, Upacara Adat serta seni tradisional di Sulawesi Tenggara

Sama seperti daerah lain yang juga memiliki nilai nilai tradisi yang kental di propinsi Sulawesi Tenggara ini juga terdapat upacara adat warisan turun temurun. Keunikan tradisi yang berupa upacara adat ini tentu layak di lestarikan demi kemajuan budaya dan  wisata indonesia.

1.Upacara Adat Posuo (Masyarakat Buton Raya)
2.Upacara Adat Kabuenga, dari Kabupaten Wakatobi
3.Upacara Adat Karia, dari Wangi-wangi di Kabupaten Wakatobi
4.Upacara Adat Mataa, dari Kabupaten Buton
5.Upacara Adat Tururangiana Andala, dari Pulau Makassar di Kota Baubau
6.Upacara Adat Religi Goraana Oputa, oleh masyarakat Buton Raya
7.Upacara Adat Religi Qunua, oleh masyarakat Buton Raya
8.Upcara adat Bangka Mbule Mbule di Kabupaten Wakatobi.

Seni Tari Tradisional daerah Sulawesi Tenggara :

1.Tari Lariangi dari Kabupaten Wakatobi
2.Tari Balumpa dari Kabupaten Wakatobi
3.Tari Potong Pisang, dari Kabaena di Kabupaten Bombana
4.Tari Lulo Alu, dari Kabaena Kabupaten Bombana

Jumat, 21 Oktober 2011

KEBUDAYAAN SULAWESI UTARA



Penduduk Sulawesi Utara terdiri atas 3 etnis dan bahasa yang berbeda-beda, yaitu :
1. Suku Minahasa 
    (Toulor, Tombolu, Tonsea, Tontenboan, Tonsawang, Ponosokan, dan Batik)

2. Suku Sangine dan Talaud
   (Sangie Besar, Siau, Talaud)

3. Suku Bolaang Mongindow
   (Mongondow, Bolaang, Bintauna, Kaidipang)

Walaupun demikian,Bahasa Indonesia digunakan dan dimengerti dengan baik oleh sebagian besar penduduk Sulawesi Utara didominisi oleh : 
       -Suku Minahasa (33,2%)
       -Suku Sangir (19,8%)
       -Suku Bolaang Mangondow (11,3%)
       -Suku Gorontalo (7,4%)
       -Suku Totemboan (6,8%)
Bahasa daerah Manado menyerupai Bahasa Indonesia tapi dengan logat yang khas.
Beberapa kata dalam dialek Manado berasal dari Bahasa Belanda dan Portugis karena daerah ini merupakan wilayah jajahan Belanda dan Portugis.

Lagu Daerah :
-Si Patokaan
-O Ina Ni Keke

Mayoritas penduduk disana beragama Kristen dan Katolik. Sejumlah besar gereja dapat ditemui di seantero kota. Meski demikian, masyarakat Manado terkenal sangat toleran, rukun, terbuka dan dinamis. Karenanya Kota Manado memiliki lingkungan sosial yang relatif kondusif dan dikenal sebagai salah satu kota yang relatif aman di Indonesia. Hal itu tercemin dari semboyan masyarakat sekitar yaitu Torang Samua Basudara (Kita Semua Bersaudara).

Berikut adalah gambar dari musik tradisional dari Sulawesi Utara.

Kolintang adalah adalah musik tradisional dari Sulawesi Utara.
Alat ini terbuat dari sejumlah kayu yang berbeda-beda panjangnya sehingga menghasilkan nada yang berbeda-beda. Kata Kolintang berasal dari bunyi : Tong (nada rendah), Ting (nada tinggi) dan Tang (nada tengah). Dahulu Dalam bahasa daerah Minahasa untuk mengajak orang bermain kolintang: "Mari kita ber Tong Ting Tang" dengan ungkapan "Maimo Kumolintang" dan dari kebiasaan itulah muncul nama"KOLINTANG” untuk alat yang digunakan bermain.


Kebudayaan Kalimantan Tengah

SENJATA TRADISIONAL

 

Mandau

Kalimantan adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya pulau ini tidak hanya merupakan “daerah asal” orang Dayak semata karena di sana ada orang Banjar (Kalimantan Selatan) dan orang Melayu. Di kalangan orang Dayak sendiri, satu dengan lainnya menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Namun demikian, satu dengan lainnya mengenal atau memiliki senjata khas Dayak yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun sang pemilik pergi mandau akan selalu dibawa karena berfungsi sebagai simbol kehormatan atau jati diri.
Zaman dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara.
Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat keampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya digunakan untuk menghias gagang mandau. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, rohnya akan mendiami mandau tersebut sehingga menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.
Struktur Mandau
1. Bilah Mandau
Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa berbentuk pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu.
Pembuatan bilah mandau diawali dengan membuat bara api di dalam sebuah tungku untuk memuaikan besi. Kayu yang digunakan untuk membuat bara api adalah kayu ulin karena dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh diatas bara tersebut agar memuai. Kemudian, ditempa menggunakan palu.
Penempaan dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan. Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda.
2. Gagang (Hulu Mandau)
Gagang (hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.
3. Sarung Mandau
Sarung mandau (kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan.
Nilai Budaya
Pembuatan mandau, jika dicermati secara seksama mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah.

Talawang


Talawang adalah alat yang digunakan oleh suku Dayak untuk  pertahanan diri atau pelindung diri dari serangan musuh.
Talawang dibuat dari bahan kayu yang ringan tetapi kuat. Bentuknya segi enam memanjang dengan ukuran panjang kurang lebih 1 meter dan lebarnya kurang lebih 0,5 meter dengan perkiraan dapat menutupi dada manusia guna menangkis mandau atau tombak musuh apabila terjadi perkelahian dalam perang. Keseluruhan bidang depan talawang biasanya diukir bentuk topeng (hudo), lidah api, dan pilin ganda.
Selain sebagai pelengkap alat pertahanan diri, talawang juga digunakan sebagai pelengkap dalam tari-tarian.